Payung Teduh adalah blog yang mengisahkan perjalanan seseorang yang ingin menuliskan apa saja yang diinginkan , its freedom

Refleksi tentang Hak Atas Tanah dan Rasa Memiliki di Dunia Fana

Hingga akhir 2024, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat bahwa sekitar 102 juta bidang tanah telah terdaftar di Indonesia melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) (sumber:  atr-bpn.id). Target nasional mencapai 126 juta bidang tanah hingga tahun 2025. Ini menandakan bahwa sebagian besar warga mulai memiliki kepastian hukum atas tanah mereka. Namun, di balik keberhasilan legalitas ini, muncul pertanyaan filosofis yang jauh lebih dalam: apakah memiliki tanah secara sah berarti memiliki kedamaian batin di dunia yang sifatnya sementara?

Tanah sering kali diasosiasikan sebagai simbol pencapaian dan keamanan hidup. Tetapi, apakah benar tanah adalah milik Anda selamanya? Atau hanya sekadar hak pakai dalam waktu yang terbatas? Dalam artikel ini, Anda akan diajak merefleksikan lebih dalam tentang hak atas tanah dan rasa memiliki di dunia yang tak abadi.

Hak Atas Tanah: Legalitas yang Tidak Mutlak

Refleksi tentang Hak Atas Tanah dan Rasa Memiliki di Dunia Fana

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 menjadi dasar sistem agraria nasional. Dalam regulasi ini dijelaskan bahwa negara memiliki kekuasaan atas tanah, dan warga hanya diberikan hak tertentu atas tanah dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai.

Hak Milik memang merupakan hak terkuat, tetapi tetap tidak absolut. Negara bisa mencabut hak tersebut untuk kepentingan umum melalui mekanisme pengadaan tanah (sumber: uu No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum). Ini menunjukkan bahwa Anda tidak memiliki tanah secara mutlak, melainkan hanya mendapat legalitas untuk menggunakannya dalam batas waktu dan syarat tertentu.

Dalam praktiknya, banyak pemilik tanah mengalami kerugian akibat penggusuran yang dibenarkan atas nama pembangunan. Contoh paling nyata adalah proyek infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan yang melibatkan ratusan ribu hektare lahan warga.

Rasa Memiliki dan Kecemasan Manusia Modern

Secara psikologis, rasa memiliki memberikan perasaan aman dan status sosial. Namun, studi dari Journal of Environmental Psychology (2020) menunjukkan bahwa rasa memiliki berlebihan terhadap properti bisa menimbulkan stres, terutama jika ada ancaman kehilangan atau konflik hukum. Hal ini dikenal dengan istilah "possessive attachment".

Di Indonesia, properti khususnya tanah menjadi simbol kelas sosial. Seseorang yang memiliki rumah dan tanah diasumsikan telah mencapai kestabilan hidup. Namun, identitas ini juga menciptakan kecemasan takut tidak bisa mempertahankan warisan, takut adanya penggusuran, atau bahkan trauma karena konflik antar ahli waris.

Anda mungkin merasa aman saat memiliki tanah. Tapi jika rasa memiliki berubah menjadi beban emosional, bukankah tanah itu justru mengendalikan Anda?

Ketimpangan Agraria: Kepemilikan yang Tidak Merata

Refleksi atas tanah tidak bisa dilepaskan dari isu ketimpangan. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2023 terdapat 212 konflik agraria, sebagian besar melibatkan korporasi besar yang menguasai lahan luas. Bahkan, KPA menyebut bahwa sekitar 56% tanah produktif di Indonesia dikuasai oleh 1% populasi.

Laporan Oxfam (2017) juga memperkuat data ini: konsentrasi kepemilikan lahan yang ekstrem bisa memperlebar kesenjangan sosial dan menghambat keadilan ekonomi. Tanah yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan bersama justru menjadi alat dominasi segelintir elite.

Anda yang memiliki tanah perlu bertanya ulang: apakah tanah yang dimiliki menggeser hak orang lain? Apakah kepemilikan itu membawa keadilan atau justru melanggengkan ketimpangan?

Tanah dan Dimensi Spiritual: Perspektif Budaya Lokal

Di banyak komunitas adat Indonesia, tanah memiliki nilai spiritual dan kultural yang sangat tinggi. Di Tanah Papua, tanah adalah representasi leluhur yang tidak bisa dipindahtangankan. Dalam hukum adat, tanah adalah titipan generasi sebelumnya dan amanah bagi generasi berikutnya.

Begitu juga di Bali, di mana konsep tanah berkaitan erat dengan pura keluarga dan tempat pemujaan. Tanah tidak bisa dijual sembarangan karena dianggap sebagai bagian dari kesatuan sakral keluarga.

Menurut studi yang diterbitkan oleh Asia Pacific Viewpoint (2019), pengabaian terhadap nilai spiritual tanah kerap menjadi pemicu konflik antara masyarakat adat dan negara. Rasa memiliki versi adat tidak selalu sejalan dengan pengakuan hukum negara, yang lebih menekankan pada bukti administratif.

Maka, meskipun Anda memiliki tanah secara sah menurut hukum negara, belum tentu Anda memiliki legitimasi moral di mata masyarakat lokal. Kepemilikan yang bijak perlu memperhitungkan dimensi sejarah, spiritual, dan budaya yang melekat pada sebidang tanah.

Dunia Fana dan Ilusi Kepemilikan

Dunia terus berubah. Urbanisasi, perubahan iklim, dan kebijakan pembangunan bisa sewaktu-waktu mengubah status tanah Anda. Banjir rob di Semarang dan abrasi di pesisir utara Jawa telah menyebabkan ribuan hektare tanah tenggelam dan tak bisa dihuni (sumber: KLHK, 2023).

Di tengah ketidakpastian ini, rasa memiliki terhadap tanah justru bisa menjadi sumber penderitaan. Tanah yang Anda banggakan bisa hilang karena bencana atau direbut karena tumpang tindih regulasi. Bahkan jika semua berjalan baik, tanah itu tidak akan Anda bawa mati.

Refleksi ini bukan sekadar tentang spiritualitas, tapi juga rasionalitas. Dunia fana tidak memberi jaminan kepemilikan yang abadi. Maka, mengapa Anda harus begitu terikat pada sesuatu yang tidak permanen?

Memiliki Tanah dengan Bijak dan Bermakna

Sebagai seseorang yang memiliki hak atas tanah, Anda bisa memilih untuk memaknainya secara lebih sehat dan berkelanjutan:

  1. Legalitas dan etika harus berjalan seiring. Miliki sertifikat yang sah, tapi juga hargai nilai-nilai lokal dan sosial dari tanah itu.

  2. Gunakan tanah secara produktif. Jangan biarkan lahan tidur, tetapi manfaatkan untuk pertanian, konservasi, atau kegiatan ekonomi lokal.

  3. Lakukan regenerasi tanah. Perhatikan dampak lingkungan dari pengelolaan tanah. Tanam pohon, cegah erosi, dan rawat kesuburan tanah.

  4. Wujudkan warisan yang damai. Siapkan mekanisme warisan yang adil dan jelas untuk menghindari konflik antar ahli waris.

  5. Refleksikan keterikatan. Jangan menjadikan tanah sebagai sumber ego dan kekuasaan. Biarlah ia menjadi alat untuk berbagi dan membangun.

Kepemilikan yang Disertai Kesadaran

Memiliki tanah adalah hal yang sah dan bahkan penting dalam kehidupan modern. Tapi, rasa memiliki yang tidak disertai kesadaran akan keterbatasan dunia bisa menjadi jebakan. Dunia fana tidak menjanjikan keabadian atas apa pun.

Tanah memang bisa menjadi milik Anda secara hukum, namun maknanya jauh lebih besar dari selembar sertifikat. Ia bisa menjadi ruang konflik atau ruang damai, tergantung bagaimana Anda memaknainya.

Jangan biarkan Anda dimiliki oleh tanah. Milikilah tanah dengan kesadaran, bukan keterikatan. Sebab pada akhirnya, yang Anda tinggalkan bukanlah berapa hektare tanah yang Anda punya, tapi nilai apa yang Anda tanam di atasnya.

Author Profile

About Irwin Andriyanto

Blogger Tangerang, SEO Spesialist, Digital Marketer, Penikmat Data, Tech Innovation Enthusiast. Sedang hobi membangun beberapa blog "Edo Tensei". Email : [email protected]

0 Komentar

Posting Komentar